Begitu banyak orang yang aku temui, semenjak aku diizinkan hidup di dunia ini lebih lama dari kakakku hingga 18 tahun kehidupanku. Beberapa di antara mereka meninggalkan jejak lebih dalam dibanding yang lain. Salah satu dari mereka adalah seseorang yang aku anggap sebagai kakak di kampus Ali Wardhana ini.
Seharusnya aku menulis ini di halaman SATGAS, tapi karena aku pikir ini mengenai kisah pribadiku, sebaiknya aku pisahkan saja post ini. π
Sebenarnya awal aku dekat dengan Kakak sepele saja. Namanya yang unik dan mengundang kontroversi membuat sebagian (atau malah semua) anggota SATGAS penasaran. Kami juga mempunyai beberapa kesamaan, termasuk nama ayah yang kebetulan juga sama. π
Well, sebenarnya bukan hal yang mengejutkan jika aku berteman dekat dengan lawan jenis. Sejak SD sampai sekarang, aku gampang sekali akrab dengan laki-laki. Mereka juga nyaman berteman denganku. Menurut mereka, aku orangnya asik diajak berteman.
Tapi dengan Kakak, mungkin agak lain. Dia adalah sosok Kakak yang baik, perhatian pada teman-temannya, humoris, peduli, protektif, dan setia. Setia, kata satu ini bermakna sangat dalam bagi Kakak mengingat LDR yang dia jalani bisa tetap bertahan sampai sekarang.
Berteman dengannya bagai mendapat air es di tengah gurun. Betapa dia merupakan salah satu anugerah Allah yang Dia kirim sebagai ganti atas kekecewaanku diterima di kampus Ali Wardhana ini. Dia senantiasa membuatku merasa seperti adik dalam posisiku sebagai anak pertama di keluargaku. Dia yang sering mengingatkan aku untuk tidak pulang terlalu malam. Dia yang suka mengomel kalau aku begadang atau lupa makan. Dia yang selalu mengantarkanku pulang sampai depan kos kalau kebetulan pulang searah. Dia, Kakakku…
Kami begitu dekat memang. Sampai-sampai anggota SATGAS yang lain berfikir kami sudah atau hampir pacaran. Tidak, kawan, kalian salah. π
Kami memang dekat, sebagai teman, sahabat, saudara. Kami dekat justru karena kami menjalani semua tanpa ikatan maupun status. Kami paham posisi kami masing-masing dan niat awal kami untuk berteman, yaitu tulus menjalin persahabatan dan tak boleh ada ‘rasa’ yang menodai persahabatan tersebut.
Kami tak setiap hari smsan. Semenjak naik ke tingkat 2 pun kami berbeda kelas sehingga jarang bertemu. Meski begitu, aku tak pernah merasa kehilangan dia. Mengapa? Kami siap mendengar curhat salah satu dari kami kapanpun dibutuhkan. Kami akan membalas jika salah satu dari kami SMS duluan, seberapapun tak pentingnya itu. Kami siap menguatkan saat salah satu dari kami jatuh. Kami siap mengingatkan saat salah satu dari kami lengah. Kami ada dan kami peduli.
Hubunganku dengan kakak membuatku sadar, tak perlu segala macam status untuk mengikat kita. Cukup dengan ketulusan dan Allah yang akan menjaga kita.
Sempat terfikir di benakku, akankah ada seseorang yang mampu menjalani hubungan sebagaimana aku dengan Kakak tapi dengan orientasi yang berbeda. Bukan sebagai sahabat, tapi lebih sebagai calon pendamping. Mungkin aku terlalu muda untuk itu, tapi tak ada salahnya jika aku sedikit mempunyai angan tentang itu.
Bukankah baik jika aku bisa menghindari pacaran yang notabene dilarang oleh Islam? Bukankah dengan hubungan yang berlandaskan niat dan ketulusan ini mampu menjaga kita pada batasan-batasan yang semestinya? Hubungan yang tulus, berniatkan keinginan untuk saling mengenal, memahami, dan mengambil keputusan yang terbaik, tanpa paksaan, tanpa keharusan untuk berlaku tertentu, tanpa melanggar batasan yang semestinya. Hanya ketulusan yang murni datang dari hati dan disertai doa yang tulus untuk dapat memutuskan yang terbaik.
Namun sekali lagi, manusia hanya bisa berangan, berencana. Hanya Allah yang berhak memutuskan semuanya. Yang pasti, Kakak membuatku sadar mengenai makna hubungan yang sebenarnya.
He’s my best friend and always be my best friend, insyaAllah..
^^